Waspada, Sinetron Politik 2024

Beritakita1.click – M Anzaikhan S Fil I MAg, Dosen Fakultas Syariah IAIN Langsa dan Founder Pematik

ADA yang menarik dari sebuah sinetron, meskipun penonton sudah tahu kalau itu sandiwara, namun masih saja ada yang terbawa emosional bahkan menangis saat mengikutinya. Lebih mirisnya, ada sebagian penonton yang terlalu membenci pelaku sinetron di kehidupan nyata. Padahal, tabiatnya sebagai peran penjahat hanya sebuah akting belaka.

Begitu juga dalam dunia politik, tidak jarang oknum caleg bersandiwara layaknya sinetron di televisi. Mereka bisa mendadak baik, tiba-tiba menjadi sosok yang saleh, dan menjadi ramah. Bagi oknum yang mungkin shalat di rumah bolong-bolong, ketika momen politik, ia sanggup bahkan intens shalat subuh berjamaah di masjid.
Begitu juga dengan mental sosialnya. Bila hari biasa mereka cuek dan acuh tak acuh, saat menjadi caleg, mereka lebih ramah bahkan melebihi lembutnya suara pramugari di pesawat.

Anehnya, meskipun masyarakat sadar akan perubahan itu, masih saja ada yang menjadi korban (tertipu). Saat sudah tertipu, kebencian pun menguasai diri, dan muncullah ketidakpedulian terhadap politik. Maka dari itu, penting kiranya masyarakat paham, bahwa sinetron biarlah berjalan, karena memang itu sudah jadwal tayangnya.

Jangan sampai masyarakat patah hati dan menangis. Sebab, ketika jadwal politik selesai, mereka akan kembali menjadi diri mereka masing-masing.

Secara filosofis, politik didefinisikan sebagai ‘banyak cara’. Artinya, demi memperoleh kekuasaan (kemenangan), berbagai jalan akan ditempuh.

Salah satunya dengan tampil bagus di hadapan masyarakat. Tidak ada salahnya jika memang seorang caleg benar-benar akan menjadi ‘baik’ terlepas apakah ia terpilih atau tidak. Masalahnya, sering kali justru mereka menunjukkan ‘hidung belang’ mereka ketika sudah menjabat.

Nomor HP misalnya, sebelum menang, mereka selalu menerima keluhan warga. Apabila ada acara sosial selalu hadir. Bahkan ketika masuk kampung, kaca mobil terbuka lebar-lebar. Saat sudah menjabat, nomor HP pun diganti, keluhan warga tidak didengar, acara sosial pilih-pilih, bahkan kaca mobil tertutup rapat-rapat.
Begitu juga, sebelum menjabat, mereka (pelaku sinetron) akan turun langsung ke tengah warga untuk meminta dukungan. Sebaliknya, setelah mereka menjabat, banyak sekali ‘palang pintu’ yang harus dilewati hanya untuk warga yang ingin bertemu dengannya.

Kendala ini ternyata tidak hanya terjadi pada caleg yang berhasil memperoleh kursi. Bagi yang gagal menang terkadang lebih memprihatinkan lagi. Ada oknum caleg yang marah-marah, bahkan ada yang berani menarik sumbangannya di masjid dan rumah warga. Rasa kesal membuat akalnya tidak berjalan lurus lagi, yang ada hanya emosi karena produser sinetron sudah gulung tikar. Sungguh sangat memprihatinkan.

Argumen di atas bukan bermaksud untuk menyuruh masyarakat golput. Sebaliknya, justru penulis ingin masyarakat objektif dalam memilih dengan cerdas. Lebih penting lagi, jangan sampai masyarakat terpecah-belah karena sinetron politik. Sejarah telah berbicara, begitu banyak warga yang bermusuhan hanya karena calon presidennya berbeda.

Warga tidak hanya saling mencibir, bahkan ada yang saling memfitnah dan membunuh. Padahal, ketika sudah terpilih, tak jarang para pelaku politik saling berbagi posisi dan proyek.

Politik sangat dinamis, tidak ada teman sejati dalam politik, yang ada adalah kepentingan yang sifatnya temporal. Bila warga selama ini merasa menjadi korban, maka pola pikirnya sudah bisa dibalik. Jadilah pihak yang paham politik, dan memanfaatkan politik untuk pembangunan.

Pahamilah visi-misi dengan serius, kenalilah calon secara mendalam. Lihatlah calon berdasarkan akhlak dan kejujurannya di luar masa politik. Dengan begitu, bisa lebih waspada, bahkan dampak dari sinetron politik dapat diminimalisir.

Politik memang merubah orang, dahulu kawan ngopi, sekarang (jika menjabat) susah dicari. Politik melihat teman dari ‘kepentingannya’, padahal teman sejatilah yang menerima dirinya jika tidak memiliki apa-apa. Apabila ingin mengetahui watak asli seseorang, maka lihatlah pribadi mereka saat sedang menjabat atau sedang banyak uang. Apabila mereka menjadi sombong, dan mendadak amnesia, itulah karakter aslinya di depan orang yang dilupakannya.

Sebaliknya, jika seorang pejabat ingin tahu mana temannya yang tulus, lihatlah dimana di antara mereka yang tidak ambisi untuk menjabat. Lebih tepat lagi, lihatlah mereka yang masih mau ‘ngopi’ saat seorang pejabat telah kehilangan posisinya.

Orang-orang ini adalah yang sangat mulia, mau mendengar keluh-kesah pejabat yang lengser, meskipun ia tau, tidak ada apa pun yang diharap selain membantu mengobati luka. Masalahnya, sering kali teman seperti ini, diketahui belakangan. Adapun yang lebih tampak, adalah mereka yang suka menjilat dan menempel ke pejabat.

Politik dalam Islam

Pada konsep Islam, politik tidak boleh lebih tinggi dari agamanya. Artinya, jika ingin berpolitik, maka berpolitiklah untuk agama, bukan beragama untuk politik. Kenyataannya, sering kali agama yang dijadikan alat politik. Buktinya, sangat banyak oknum politik yang menjual nilai-nilai agama seolah merekalah yang memiliki tiket surga dan neraka.

Dalam Islam, politik dijalankan demi kepentingan umat. Senada dengan sebuah slogan; “Kebaikan yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.” Kebaikan (jika sendiri) maka ia lemah, dengan berkelompok maka mereka dapat menebar kebaikan secara kaffah.

Sayangnya, sangat jarang yang mengimplementasikan politik secara islami. Justru nilai-nilai Islam disalahartikan belakangan ini dalam politik nasional. Politik, jika membawa embel-embel Islam, seolah dekat dengan radikalisme, dekat dengan pembangkangan. Padahal, hanya segelintir oknum yang salah, namun Islam secara general yang terkena imbasnya.

Menurut perspektif Islam, memilih calon pemimpin yang baik dapat dilihat dalam berbagai aspek. Pertama, pilihlah kandidat yang ditunjuk bukan menunjuk. Kandidat yang ditunjuk, membuktikan bahwa ia dipercayakan oleh umat. Adapun yang menunjukkan diri (mencalonkan diri) adalah mereka yang ambisi dengan jabatan.

Kedua, pilihlah kandidat yang realistis dalam berbuat janji. Orang jujur, tidak akan mudah menawarkan janji palsu. Berbeda dengan kandidat yang ambisi, mereka mampu menjanjikan apa saja meskipun mustahil diwujudkan.

Ketiga, pilihlah kandidat yang berada di Tengah-tengah umat. Artinya, kandidat tersebut adalah sosok yang memang sudah ada dan nyata kebaikannya bahkan sebelum menjadi calon pemimpin. Jangan terpengaruh dengan sosok yang ‘mendadak saleh’, karena sesuatu yang mendadak biasanya tidak tahan lama.

Keempat, pilihlah kandidat yang gemar melihat ke bawah bukan ke atas. Artinya, sosok ini suka membantu orang yang kesulitan, bukan mereka yang sibuk melihat pejabat yang lebih tinggi lagi.

Terakhir, lihatlah kandidat yang fokus dengan program sosial melalui jabatannya, bukan mereka yang memperbanyak aset (usaha) dengan jabatannya.

Sumber : Tribun